Rabu, 21 Mei 2014

muqaddimah Tafsir al-Qur’an al-‘Adzim Karya Ibnu Katsir ad Dimasyqi

Ibn katsir berkata “segala puji bagi Allah Dzat yang membuka kitabnya dengan pujian, yang memulai penciptaannya dengan pujian dan menutup penciptaan itu dengan pujian. Layak bagi-Nya pujian dari masa permulaan hingga akhir, dari sejak Dia menciptakan segala sesuat dan dia adalah dzat yang selalu dipuji didalam segala keadaan, sebagaimana do’a orang shalat: اللهم ربنا لك الحمد، ملء السماوات وملء الأرض، وملء ما شئت من شيء بعد (ya Allah tuhan kami bagimu segala pujian, sepenuh langit, sepenuh bumi dan sepenuh segala sesuatu yang engkau kehendaki setelahnya). Oleh karena itu para ahli surga mendapatkan kesucian dan pujia-nya sebagaimana mereka menghirup nafas, artinya mereka mensucikan dan memuji-Nya sepanjang nafas mereka, karena mereka melihat sebagian kebesaran ni’mat-Nya atas mereka, dan kesempurnaan kehendaknya dan agungnya kekuasaannya dan berkesinambungnya anugerahNya dan abadinya kemurahan-Nya. Dan segala puji bagi Allah dzat yang mengutus para utusan-utusannya sebagai pemberi kabar gembira dan sebagai pemberi peringatan dan menutup mereka dengan seorang Nabi yang ummi, al-‘araby, al-makky, yang memberi petunjuk menuju jalan yang jelas. Dia mengutusnya kepada seluruh makhluknya, baik dari golongan manusia ataupun jin, sejak dia diutus hingga hari akhir. Barang siapa menyampaikan al-qur’an baik dari orang Arab, orang ‘Ajam, berkulit hitam agak kemerah-merahan, manusia atau pun jin, maka termasuk dari orang-orang yang memberi peringatan. Dan barang siapa yang kafir atu mengingkari terhadap al-Qur’an, maka api neraka adalah tempatnya. Sebagaimana sabda Nabi, “aku diutus kepada manusia dan jin (Ahmar Aswad)”. Sholatullah wa salamullah, semoga tetap atas dia, utusan Allah untuk dua golongan, baik manusia ataupun jin. Dia menyebarkan atau mengajarkan al-Qur’an pada dua golongan tersebut. Wajib bagi para ulama’ untuk menyikap makna-makna firman Allah SWT, menafsirkan, belajar, dan mengajarkannya. Karena sesungguhnya Allah menghukum ahli kitab sebelum kita karena berpaling dari kitab Allah yang diturunkan pada mereka. Dan mengharapkan mereka pada kepentingan dunia dan kesibukan mereka terhadap perkara yang tidak diperintahkan oleh Allah. Maka wajib bagi kita orang-orang muslim, untuk menjauhi perkara yang dibenci Allah. dan selayaknya kita memerintahkan atau mengamalkan apa yang diperintahkan Allah pada kita, berupa belajar dan mengajarkan al-qur’an, memahami dan memberikan pemahaman terhadapnya. Dan jika seseorang bertanya, “bagaimana metode terbaik memahai tasir?”, maka jawabannya, sesungguhnya metode terbaik dalam tafsir adalah menafsirkan al-qur’an dengan al-qur’an, karena ayat al-qur’an saling menjelaskan satu sama lain, dan jika tidak ditemukan, maka merujuk pada as-sunnah, karena sesungguhnya as-sunnah itu syarah dan penjelas al-qur’an. sebagaimana dikatakan Imam Syafi’i bahwa segala sesuatu yang diputuskan Rasulullah, merupakan pemahamannya terhadap al-qur’an. sebagaiman juga disabdakan oleh Nabi, bahwasanya aku diberi al-qur’an dan semisalnya (as-sunnah). As-sunnah juga diturunkan melalui wahyu sebagaimana al-qur’an, hanya saja as-sunnah tidak dibaca sebagaimana al-qur’an. Tujuannya adalah agar kamu mencari tafsir al-qur’an dari al-qur’an, jika tidak menemukan, maka mencari dari hadits, sebagaimana hadits Mu’adz bin Jabal. Sekarang, jika kita tidak menemukan penjelasan dari al-qur’an ataupun sunnah, maka kita merujuk pada perkataan para sahabat, karena mereka mengetahui al-qur’an. seperti, Khulafaur Rasyidin dan beberapa sahabat lain. Abdullah Ibn Mas’ud pernah berkata, “demi dzat yang tiada tuhan selain Dia, tidak ada satu ayat pun dari al-qur’an yang diturunkan Allah kecuali aku mengetahui untuk siapa diturunkan dan dimana diturunkannya, dan jika ada seseorang yang lebih mengetahui kitab Allah dari pada saya, niscaya aku akan mendataginya”. Di antara para sahabat yang ahli dalam penafsiran adalah Abdullah bin Abbas, yang mengetahui al-qur’an karena berkah nabi, “Ya Allah, berikan pengetahuan dalam agama dan takwil kepadanya”. Oleh karena itu, banyak riwayat yang diriwayatkan oleh Isma’il bin Abdur Rahman as-Sadi, dalam tafsirnya bersumber dari dua sahabat ini. Meskipun As-sadi terkadang juga menukil dari perkataan ahli kitab, sebagaimana yang diperbolehkan nabi. Dalam sabdanya: "بَلِّغوا عني ولو آية، وحَدِّثوا عن بني إسرائيل ولا حَرَج، ومن كذب عَلَىَّ متعمدًا فليتبوأ مقعده من النار" رواه البخاري عن عبد الله Cerita Isra’illiyat dapat diklasifikasikan dalam tiga golongan: 1. Isra’illiyat yang kita ketahui keshahihannya, baik karena kita menyaksikan kebenarannya, maka termasuk isra’illiyat yang shahih. 2. Isra’illiyat yang kita ketahui kedustaannya, karena berentangan dengan apa yang kita miliki. 3. Isra’illiyat yang didiamkan, karena tidak diketahui apakah shahih atau kadzb. Maka dalam kasus ini, kita tidak boleh mempercayai ataupun mendustainya. Seperti, nama-nama burung yang dihidupkan Allah untuk Ibrahim, nama-nama Ashabul Kahfi, warna anjingnya, dan jenis pohon yang digunakan untk berdialog antara Musa dan Allah. Dan jika kita tidak menemukan penafsira dari al-qur’an, as-sunnah, ataupun juga dari sahabat, maka kita merujuk pada perkataan para Tabi’in. Seperti Mujahid bin Jabar. Pendapat ini, terjadi perdebatan panjang antara yang mendukung dan yang menolaknya. Di antara tokoh-tokoh yang mendukung pendapat ini adalah, Sofyan ats-Sauri, ath-Thabari, dan beberapa tokoh lainnya. sedangkan yang menolaknya adalah Syu’bah bin al-Hajaj, sebagaimana yang diungkapkan,”perkataan para tabi’in dalam hal furu’, bukanlah hujjah, maka bagaimana bisa menjadi hujjah dalam penafsiran. Akan tetapi, mereka bersepakat bahwa ijma’ tabi’in adalah hujjah, dan tidak perlu diragukan”. Sedangkan tafsir al-qur’an yang hanya berlandaskan pada ra’yu, hukumnya haram, karena riwayat dari Ibnu Jarir, bahwa Rasulullah pernah besabda,”barang siapa berkata tentang al-qur’an dengan peikirannya, maka dia telah salah”. Dan juga dari riwayat lain, nabi bersabda,”barang siapa yang berkata tentang al-qur’an dengan akalnya atau dengan sesuatu yang dia tidak ketahui, maka tempatnya adalah neraka”. Ibnu Abbas pernah berkata,”bahwa tafsir itu terbagi dalam empat macam, pertama, orang Arab mengetahuinya dari bahasanya. Kedua, tafsir yang tidak berbahaya bagi seseorang karena kebodohannya. Ketiga, tafsir yang hanya diketahui oleh ulama’. Keempat, tafsir yang hanya diketahui oleh Allah.